Dan Biarkan Air Mata itu Menetes

Menitik air mata, mengalir membasahi pipi. Jernih bagaikan butiran embun pagi yang berkilauan diterpa sinar mentari. Menghanyutkan rasa karena kedukaan, hati pun menjadi lara akan kesedihan. Lalu mata meluapkan derai tangisan, hingga tercipta nelangsa yang luruh dalam kedukaan.

Air mata kadang bercerita akan indahnya kisah cinta dan bahagia. Namun tak jarang tercurah dan hanyut dalam sedu sedan penyesalan belaka. Karenanya, betapa banyak untaian kisah yang tercipta dari tetesannya.

Air mata pun kadang menetes karena pelajaran akan sebuah makna ketegaran jiwa.

Hirotada Ototake, seorang pria yang lahir tanpa kaki dan tangan, darinya kita bisa belajar tentang makna tegar dalam kehidupan. Ia mengisahkan dalam buku Gotan Fumanzoku tentang kesanggupannya menamatkan studi di Universitas Waseda dan pernah menjadi presenter berita olahraga di televisi.

Ketegaran air mata pun pernah berkisah tentang Mitsuyo Ohira dalam bukunya Dakara Anata mo Ikinuite. Ohira san adalah seorang wanita yang menjadi sasaran olok-olok ketika duduk di sekolah menengah. Ia pernah mencoba bunuh diri ketika remaja, menikah dengan seorang gangster pada usia enam belas tahun, bercerai, namun kemudian berhasil bangkit dari masa lalunya dan kini menjadi pengacara.

Kisah-kisah itu menceritakan ketegaran yang menguras air mata.

Air mata ibarat hujan yang jatuh dari langit pada lahan hati yang tandus, gersang dan kering kerontang. Tetesannya melunakkan hati dan jiwa yang keras membatu, lalu menciptakan rasa empati dan peka terhadap ciptaan-Nya.

Kegersangan hati dan jiwa, serta qalbu yang merekah karena berbagai nista perlahan pupus. Hanyut, bagaikan debu-debu yang terbawa arus oleh untaian do'a dalam butir-butir air mata yang dimunajatkan kepada Sang Pencipta.

Mahal...
Sungguh sangat mahal harganya tetesan air mata yang mengalir saat khusyuk menghadap-Nya. Hingga salah satu dari dua tetesan yang disukai RasuluLlah SallaLlaahu Alayhi Wasallam adalah air mata yang mengalir karena rasa takut dan rindu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Beliau, yang terjaga dari dosa bahkan selalu menumpahkan air mata karena penuh harap untuk berjumpa dengan-Nya.

Seorang mujahid serta mujaddid yang pernah hidup di dunia ini, Hasan al Banna, juga menguraikan air matanya karena memikirkan ummat.

Betapa keinginannya agar ummat mengetahui bahwa mereka lebih dicintai daripada dirinya sendiri. Hingga ia pernah berkata, "Sesaat pun kami tak akan pernah menjadi musuh kalian."

Betapa bangganya Sang Imam ketika jiwa-jiwa ini gugur sebagai penebus kehormatan mereka, atau menjadi harga bagi tegaknya kejayaan, kemuliaan dan terwujudnya cita-cita Islam.

Rasa cinta itu mengharu-biru hati, menguasai perasaan bahkan mencabut rasa ngantuk di pelupuk mata hingga membuat beliau memeras air matanya. Air bening itu lalu mengalir karena menyaksikan bencana yang mencabik-cabik ummat ini. Sementara kita hanya sanggup menyerah pada kehinaan serta pasrah pada ketidakberdayaan.

Dan...
Apa yang terjadi pada diri ini?

Takkala lahir menangis, namun orang-orang tercinta tertawa bahagia karena menyambut kelahiran kita. Namun, mereka pun menangis pilu saat kita tutup usia.

Saat diri akan beranjak pergi, apakah kita juga turut menangis ataukah mengulas senyum bahagia karena akan berjumpa dengan-Nya?

Adakah amal kita lebih banyak dari dosa yang kita lakukan selama hidup di dunia fana?

Apakah prestasi kita hanya lahir, hidup, mati, kemudian dilupakan orang, bahkan oleh orang-orang terdekat kita?

Lalu setelah itu hanya pasrah, rebah di bantalan tanah, cemas menanti pengadilan akhir yang pasti tiba.

Duhai Sang Pemilik Jiwa...
Jadikanlah tetesan air yang jatuh dari sudut mata adalah air mata berharga, hingga mampu membersihkan hati yang pekat ini untuk mudah dicelupi cahaya-Mu, Ilahi Rabbi.

Dan, jangan Engkau jadikan air mata ini kelak berubah menjadi tetesan darah karena lelah berteriak, menangis dan mengetuk pintu surga yang telah tertutup rapat.

Sungguh...
Bersimbah tetesan air mata di dunia fana adalah lebih baik daripada genangan air mata bercampur darah saat di akhirat nanti.

Menangislah sebelum datang hari dimana kita semua akan ditangisi, karena saat itu pasti akan terjadi.(Penulis : Abu Aufa)

Telah tertutuplah pintu surga
Diketuk keras tak akan terbuka
Walau pekik ingin memecah langit
Walau air matanya berganti darah
Ya Allah, yang manusia harus takuti
Angkatlah kami dari lembah maksiat
Sampai kami keluar dari dunia
Tak bawa beban walau sebesar zarrah
(Lirik Nasyid: Air Mata dari Izzatul Islam)

Author

amyoies amyoies Fiksioner is a free template that suitable for personal blogging because the layout is like a journal.

Post a Comment