Kaitan antara Takwa, Tawakkal dan Rezeki

Dari Abu Umamah radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Ruh al-Qudus (Jibril) membisikkan dalam hatiku, bahwa setiap jiwa tidak akan meninggal dunia hingga sampai ajalnya dan mendapatkan seluruh rezkinya. Olehnya, bertakwalah kepada Allah, dan carilah (rezeki itu) dengan cara yang baik. Jangan sampai lantaran lambatnya kedatangan rezeki itu, menyeret kalian mencarinya dengan cara bermaksiat pada Allah, sebab apa yang ada di sisi Allah (berupa rezeki) tidak akan digapai melainkan dengan ketaatan”. (HR. Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 10/27, Ibnu Abi Syaibah no. 34332, al-Hakim no. 2/288, ad-Daruquthni no. 494, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 1037, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ al-Shaghir, no. 2085).


Mutiara Hadits:


1. Hadits ini mengandung anjuran-anjuran nabawi berupa perintah untuk bertakwa, tawakkal serta arahan agar bekerja dengan cara yang halal. Dari sini didapati, bahwa takwa, tawakkal dan rezeki itu memiliki kaitan yang sangat erat. Dengan takwa dan tawakkal, Allah akan mencukupi rezeki hamba bahkan mendatangkannya dari arah yang tidak terduga. (Lihat firman Allah surah at-Thalaq : 3), juga sabda Rasulullah dari Umar bin al-Khattab: “Jika kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana pada burung, (burung itu) keluar pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali pada waktu sore dalam keadaan kenyang” (1).

2. Kalimat “nafatsa fi ru’iy”, yakni membisikkan dalam diriku. Ini merupakan salah satu metode Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi SAW. Kadang jibril datang dalam rupa seorang lelaki lalu menyampaikan wahyu, atau dengan memeluk Nabi SAW lalu menanamkan wahyu dalam dada beliau hingga dipahami dengan baik dan sebagainya (2).

3. Dalam kadar ini (bisikan dan bukan wahyu), kadang pula ditemukan pada sebagian orang-orang shalih. Dalilnya, kisah shahabat yang meruqyah seorang pemuka kabilah yang tersengat kalajengking dengan surah al-Fatihah dan meminta beberapa ekor unta. Lalu ketika bertemu dengan Nabi, beliau bertanya: Bagaimana engkau mengetahui bahwa ia (surah al-Fatihah) itu dipakai untuk ruqyah? Ia menjawab: “Sesuatu (bisikan) yang diberikan dalam hatiku” (3).

4. Penetapan akan iman terhadap takdir Allah Ta’ala. Bahwa setiap manusia yang lahir di muka bumi ini telah tercatat batas ajal dan bagian rezekinya. Hal ini pula disinggung dalam hadits Ibnu Mas’ud berkaitan dengan proses penciptaan mansia, ”.. lalu dicatat baginya empat kalimat rezeki ajal, amal, dan apakah ia (termasuk orang) celaka atau bahagia” (4). Dan keyakinan ini akan mengarahkan hamba pada pintu kebahagiaan, bahwa apapun yang telah digapai di muka bumi ini dalam perkara duniawi, seluruhnya telah diatur dan ditentukan oleh-Nya. Maka dari itu, tak ada penyesalan dan kesedihan apalagi gundah terhadap sesuatu yang luput darinya.

5. Sabda Nabi: “Bertakwalah kepada Allah dan carilah dengan cara yang baik”, Ibnul Qoyyim berkata: Dalam ibarat ini, Nabi SAW mengumpulkan seluruh kebaikan, kebahagiaan serta kelezatan dunia dan akhirat. Rezeki yang diperoleh melalui takwa, kelapangan hati dan kenyamanan tubuh serta jauh dari sikap tamak, loba, dan rakus, maka inilah yang dinamakan “mencari dengan cara yang baik”. Sebab siapa yang bertakwa pada Allah dapat dipastikan ia akan memperoleh kebahagiaan dan kelezatan akhirat. Dan siapa yang mencarinya dengan cara yang baik (jauh dari sifat tamak dan rakus), maka ia selamat dari tipuan dunia dan kerisauan terhadapnya” (5).

6. Hadits ini menunjukkan bahwa maksiat merupakan sebab terhalangnya seorang hamba dari rezeki atau hilangnya berkah dari rezeki tersebut (6). Dari Tasauban radhiallahu anhu, Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh seseorang itu diharamkan (terhalangi) dari rezeki lantaran dosa yang ia kerjakan” (7).

7. Anjuran untuk senantiasa mencari rezeki yang halal dan menjauhkan diri dari mencari rezeki melalui jalan haram. Termasuk diantaranya peringatan dari Rasulullah SAW agar tidak tergesa dalam mencari rezeki itu hingga menghalalkan segala cara kendati diharamkan oleh Allah Ta’ala.

__________________
Foot Note:
1. HR. at-Tirmidzi no. 2344, Ibnu Majah no. 4164 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibni Majah no. 4154.
2. Syaikh Shalahuddin bin Ali Abdul Maujud, Kaset Ceramah Syarah Hadits “Inna ruhal qudusi…” side A.
3. Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, Syarah Bulugh al-Maram, 6/158.
4. HR. Bukhari dan Muslim no. 2643.
5. Ibnul Qoyyim, al-fawaid, hal. 43.
6. Lihat penjelasannya pada: Ibnul Qoyyim, al-Jawab al-Kafiy, hal. 56.
7. HR. Ahmad no 22440, Ibnu Majah no 4022, Ibnu Hibban no 872, dan al-Hakim, beliau berkata: Hadits ini Shahih dan disepakati oleh ad-Dzahabi, akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani menganggapnya dha’if dalam Dah’if al-Jami’ no. 1452.(Rappung Samuddin)

Author

amyoies amyoies Fiksioner is a free template that suitable for personal blogging because the layout is like a journal.

Post a Comment